When You Come ( Part 10 )

When you come




(Rekreasi Murah), "Na! Serius nih lo langsung resign setelah maternity leave lo selesai? Gue masih enggak percaya kalau hari ini last day lo jadi partner kerja gue." Alara berucap dengan wajah sendu. Bahkan sesekali dia menyeka air matanya.

"Enggak usah lebay ih, Ra. Nanti juga lo bisa main ke rumah gue. Kita masih tetap bisa ketemuan. Kita masih sahabatan juga. Enggak usah cengeng gini keleus."

Kudengar Alara menghela nafasnya.

"Gue enggak siap nanti bakal makan siang sendirian, Na. Belum siap juga rasanya mengurusi kerjaan tanpa lo. Enggak ada lagi deh nanti yang mengingatkan gue buat hal-hal kecil yang sering gue lupain kalau lagi hectic mengurus event. Enggak ada lagi deh nanti partner begadang gue saat harus cek persiapan venue. Enggak ada lo lagi yang bisa gue cengin karena suami lo yang luar biasa datar itu. Aaahh, Nianaaa!" Air mata Alara sekarang malah mengucur deras. Dia sampai memelukku erat. Ralat. Amat sangat erat maksudnya.

Aku refleks meringis, "Ra, Ra, perut gue Ra." Dan seketika Alara melepaskan pelukannya.

"Sorry, sorry Na. Maafkan Ola yaa sayang." ucapnya sambil mengusap perutku yang sudah semakin membesar. Usia kehamilanku memang sudah masuk delapan bulan.

"Sudah ah enggak usah cengeng. Yaa meskipun gue tahu kalau lo ini memang yang paling cengeng diantara kita bertiga sih. Lagian yaa, masih banyak anak-anak yang lain, Ra. Lo enggak sendirian kali di iDea. Kita juga masih sahabatan meskipun gue sudah enggak kerja di sini lagi. Sama kayak Uwi deh. Dia bahkan sudah resign sebelum dia nikah. Tapi kita masih sahabatan sampai detik ini. Ola bisa kok main ke rumah aku kapan aja."

Alara kembali memelukku erat, tapi kali ini dia sudah sadar diri dengan menjauhkan badannya dari perutku. Hanya bagian atas tubuhnya saja yang merapat ke tubuhku.

Hari ini memang menjadi hari terakhirku bekerja. Mulai besok, aku sudah tidak masuk kantor karena sudah waktunya cuti melahirkan. Dan aku juga sudah memutuskan untuk resign tepat setelah maternity leaveku berakhir. Jadi, aku tidak akan kembali lagi ke kantor setelah cuti tiga bulanku berakhir. Sudah pasti Pak Ferdi dan Mas Ardo sangat berat melepaskan dan menandatangani surat resignku. Secara gini-gini, aku termasuk yang paling bisa diandalkan. Ide-ideku sering terpakai. Banyak klien yang langsung suka dengan ideku. Pak Ferdi bahkan sempat menegoku. Dia menawarkan kalau nanti aku boleh membawa anakku sambil bekerja. Dia juga menjanjikan jam kerja yang normal untukku. Katanya, dia akan menyerahkan seluruh tugas operasional ke yang lainnya. Jadi aku hanya bertugas untuk membuat konsep acara saja. Pak Ferdi juga sampai memastikan kalau aku bisa dengan mudah mendapat izin, jika suatu saat aku tidak bisa masuk kerja karena tugasku sebagai Ibu.
Jujur saja, aku sangat berminat dengan tawaran itu. Karena akupun rasanya masih sangat berat meninggalkan dunia kerjaku ini. Karena ini memang cita-citaku, bisa bekerja di sebuah Event Organizer. Ditambah lagi, iDea ini adalah salah satu EO ternama yang ada di Indonesia.

Sampai akhirnya, sepertinya Mas Askha menggunakan kuasanya. Karena satu hari setelah aku keluar dari ruangan Pak Ferdi untuk urusan negosiasi itu, Mas Ardo langsung mengembalikan surat resignku yang sudah ditanda tangani olehnya dan Pak Ferdi, untuk diserahkan ke bagian HR. Padahal sebelumnya, Pak Ferdi bilang akan menanda tangani surat itu setelah dia berhasil menemukan penggantiku yang benar-benar kompeten.

When you come



---


"Askha masih sibuk kerja juga, Na?"

Bunda muncul dari arah dapur sambil membawa sepiring alpukat dan pisang yang sudah dikupas dan dipotong-potong. Lalu duduk di sebelahku yang sedang asyik menonton televisi.

"Seperti itulah, Bun. Setiap hari ya aku ditinggal gini. Enggak lama-lama sih Bun, tapi sering."

Jam kerja Mas Askha tuh memang bebas dan sesukanya saja. Kadang dia pergi pagi-pagi sekali, tapi tiga jam kemudian sudah kembali ke rumah. Terus nanti dia pergi lagi. Pokoknya nih, seringnya itu dia pergi cuma sebentar-sebentar saja. Tapi dalam sehari itu, dia bisa beberapa kali pergi. Kadang dia juga baru pergi siang atau sore. Enggak jarang juga dia cuma kerja dari rumah.

"Iya Bunda paham. Kerjanya memang gitu terus dari dulu. Padahal harusnya dengan posisi dia sekarang, dia bisa saja lho kerja dari rumah. Enggak harus sering-sering ke kantor."

Aku hanya mengedikkan bahuku sambil tersenyum ke arah Bunda.

"Buahnya Niana makan ya, Bun." ucapku sambil menusuk sepotong pisang dan alpukat dengan garpu dan langsung melahapnya.

Baru saja Bunda akan membuka mulutnya, suara bel rumah berbunyi. Bunda langsung berdiri untuk membukakan pintu.

"Assalamualaikum. Eh, Bunda." ucap Mas Askha sambil mencium tangan Bunda.

"Wa'alaikumsalam. Kenapa memang kalau Bunda? Niana itu sudah susah jalan, kasihan kalau harus bukain pintu buat kamu terus."

Mas Askha cuma menyunggingkan senyum satu detiknya dan menghampiriku.

"Ndak usah berdiri." titahnya dan aku hanya menerima uluran tangannya dan menciumnya.

Mas Askha duduk di sebelahku dan mengusap-usap perutku pelan.

"Aaw." Aku meringis begitu bayi yang masih di dalam perutku ini menendang perutku. Seakan merespon usapan Mas Askha barusan.

"Kenapa?" tanya Mas Askha sambil menaikkan alisnya.

"Biasalah, tiap kamu pegang pasti dia nendang atau bergerak di dalem sana."

"Calon anak Ayah nih kayaknya." sahut Bunda.

"Dia gerak atau nendang saja sudah sakit ya, Bun. Bagaimana nanti pas melahirkan?" tanyaku sambil bergidik ngeri. Jujur, aku masih sedikit takut menghadapi segala macam proses persalinan nanti.

Tapi bukannya menjawabku, Bunda malah menegur Mas Askha. "Tuh Kha, lihat perjuangan Niana. Sembilan bulan bawa-bawa anak kamu. Belum lagi nanti harus pertaruhkan nyawanya pas melahirkan. Setelahnya harus merawat kalian seumur hidupnya. Jangan cuek-cuek gitu kamu jadi suami. Sebentar lagi sudah jadi Ayah. Awas ya kalau kamu malah macam-macam, Bunda enggak anggap kamu anak Bunda lagi."

"Iya, Bun."

As simple as that. Mas Askha cukup mengeluarkan dua kata untuk menjawab ucapan Bunda yang sepanjang itu. Bunda lalu menghela nafasnya. Sudah batin maksimal sepertinya menghadapi anak model begini.

"Due date berapa hari lagi sih, Na? Itu kayaknya sudah siap lahir banget deh." tanya Bunda.

Aku menelan alpukatku. "Seminggu lagi sih Bun prediksinya. Kemarin baru habis kontrol lagi. Katanya memang posisi kepalanya sudah pas di bawah gitu."

Bunda lantas mengangguk. "Diantar Askha kan kemarin pas kontrol?"

Aku auto nyengir ke arah Bunda.

"Enggak sih, Bun. Kemarin Mas Askha ada meeting, jadi aku diantar Pak Arifin. Niatnya Mas Askha nyusul, tapi enggak jadi karena ternyata aku selesai lebih cepat dibanding Mas Askha."

Bunda langsung melempar Mas Askha dengan bantal sofa.

"Sudah dibilangin harus jadi suami siaga! Masa malah Pak Arifin yang antar dan nungguin Niana kontrol? Harusnya kamu, Askhara. Hih! Heran Bunda tuh sama kamu. Kayaknya Ayah kamu enggak gini deh pas Bunda hamil."

"Kemarin itu penting, Bun. Klien besar. Jadi harus Askha, ndak bisa diwakilkan."

Kulihat Bunda meremas tangannya sendiri. Pasti Bunda gemas tapi lebih banyak kesalnya dengan tingkah laku anaknya ini. Aku kembali melahap cemilan sehatku sambil kembali fokus menonton salah satu serial terfavoritku, The Resident. Semenjak usia kehamilanku masuk delapan bulan, aku memang sudah menyugesti diriku sendiri untuk tidak sekesal seperti biasanya dengan Mas Askha.

Apakah berhasil? Jelas enggaklah. Mana ada sih yang tahan dengan sikap nyebelinnya dia itu?



home


Posting Komentar

0 Komentar