When You Come ( Part 11 )

When you come




(Rekreasi Murah), Sudah satu jam kurasakan mulas di perutku. Rasa mulas yang silih berganti datang dan pergi. Kalau kata Uwi, bisa saja itu cuma kontraksi palsu diujung masa kehamilan. Jadi sebisa mungkin aku berusaha untuk tetap tenang dan menahannya. Prediksi dokter juga masih empat hari lagi untukku melahirkan. Tapi entah kenapa, aku merasa kalau inilah saatnya aku melahirkan.

Uwi:
Waktu lahir tuh bs maju/mundur dr prediksi.
Coba lo catet durasi mulesnya. Brp lama durasinya tiap mules & dlm 1 jam itu brp kali mules.

Sesuai arahan dari Uwi itu, aku langsung mengambil notebook kecil dan pulpen untuk mencatat kontraksi ini. Lama kelamaan, sungguh rasa sakitnya semakin membuatku panas dingin dan gemetar. Setiap mulas itu datang, rasanya aku tak bisa menggerakkan apapun. Dan saat ini, sudah hampir dua jam berlalu. Rasanya aku sudah tak sanggup lagi untuk menulis. Kulihat catatanku. Dalam satu jam, jumlah kontraksinya cukup banyak. Jarak setiap mulasnya juga semakin lama semakin cepat. Durasi setiap kontraksinya pun semakin lama. Yang awalnya hanya beberapa detik, kini bisa lebih dari satu menit. Akupun langsung menginfokan apa yang sudah kucatat ini pada Uwi.

Lama tak mendapat jawabannya, akhirnya aku memutuskan untuk mengirimkan foto catatanku itu ke Mbak Arien. Dia juga pasti paham urusan seperti ini, secara dia sudah dua kali melahirkan. Uwi sepertinya lagi sibuk mengurus Sean, karena ini sudah jamnya tidur siang. Dan begitupun sepertinya dengan Mbak Arien, karena chatku ternyata juga tak kunjung dibalasnya. Mas Askha? Aduh, entah. Aku sampai lupa, tadi dia pamit mau pergi kemana.

Baiklah, sepertinya aku harus mandi. Karena keringatku ini sudah sangat mengganggu. Mungkin saja dengan mandi air hangat bisa sedikit membantu menghilangkan rasa mulas ini. Aku langsung berjalan perlahan ke kamar mandi. Begitu sudah di dalam kamar mandi, aku langsung membuka pakaianku. Dan ketika aku membuka celana dalamku, kutemukan sebuah flek disana. Seketika panikku kembali muncul. Karena yang aku tahu, munculnya flek juga bisa dijadikan sebagai tanda kalau ibu hamil akan melahirkan.

Aku lantas buru-buru menyelesaikan mandiku. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, aku langsung mengirimkan foto flek di celana dalamku tadi ke Mbak Arien.

Mba Arien is calling...

"NA! Astaga! Itu foto celana kamuu?!"

Seruan Mbak Arien langsung menyerbuku. Bahkan dia enggak pakai mengucap salam lagi.

"Iya, Mbak. Daritadi aku sudah mules. Terus pas mau mandi, eh ada flek itu."

"Ya ampuun. Sudah berapa sering mulesnya? Tiap berapa menit?"

Oh, kayaknya Mbak Arien belum sempat membaca chatku tadi. Sepertinya dia baru membuka chatku setelah aku mengirimkan foto barusan dan langsung panik tanpa sempat membaca ulang lagi chatku yang sebelumnya.

"Sering, Mba. Lima sampai sepuluh menit sekali sih. Mulesnya juga cukup lama."

Aku kembali meringis saat kurasakan perutku kembali mulas.

"Oke tenang Na, tenang. Askha di rumah kan?"

"Enggak, Mbak. Tadi dia pamit keluar. Aku di rumah cuma sama Mbok Sih sama Pak Arifin."

"Duh, sudah tahu istrinya sudah mau melahirkan, malah pergi-pergi lagi. Bukannya jadi suami siaga yang standby di rumah. Yaudah, Mbak Arien kesana ya. Anak-anak biar sama Akung dan Utinya. Kamu siap-siap, kita coba cek ke dokter."

"Beneran enggak apa-apa kalau Mbak Arien kesini?"

"Iya enggak apa-apa. Mbak siap-siap dulu sebentar. Kamu coba telepon Askha ya. Kabarin dia. Mama juga pasti mau ikut deh nih."

"Eh, enggak usah ajak Mama ya Mbak. Nanti kalau sudah fix mau lahiran aja baru Mama temenin aku."

"Oke. Yaudah Mbak Arien siap-siap dulu. Untung pas banget Aaron sama Kila lagi, tidur siang. Tunggu Mbak ya, Na."

"Okay, Mbak. Hati-hati yaa Mbak."

Setelah panggilan ditutup, aku langsung menghubungi Mas Askha. Tapi panggilanku tak kunjung dijawabnya. Akhirnya aku hanya mengiriminya pesan dan langsung bersiap ke rumah sakit.
When you come


---

"Enggak apa-apa kok, Bu. Menjelang waktu kelahiran memang wajar hal seperti ini. Biasanya kita sebut si Adek lagi buka jalan untuk dia keluar. Mulut rahim Ibu jadi membuka perlahan-lahan. Jadi wajar saja kalau sampai ada flek."

Dokter Ajeng menjelaskan kondisiku setelah melakukan serangkaian pengecekan.

"Terus mulesnya itu gimana Dok? Karena cukup sering dan cukup lama durasinya." Mbak Arien bersuara.

Dokter Ajeng lalu menatapku, "Sekarang mules enggak? Selama Ibu disini, ada mules atau enggak? Enggak kan?"

Aku menggeleng pelan. Beneran. Aneh enggak sih? Padahal tadi di jalan masih sesekali terasa mulas. Lalu jarak waktu dari kami sampai di sini hingga kami masuk ke ruang periksa, jarak waktunya cukup lama. Tapi aku baru sadar kalau aku enggak ngerasain mulas sama sekali.

"Nah, jadi it's ok. Ini masih cuma kontraksi palsu aja, Bu Rania. Sejauh ini masih aman. Si Adek belum mau keluar sekarang kok. Dia masih ngebuka jalannya aja. Kalau saya cek juga ini belum ada pembukaan. Jadi Ibu bisa pulang dulu. Biar enggak kelamaan di rumah sakitnya. Takutnya nanti Ibu malah stress karena terlalu lama nunggu di rumah sakit."

"Yasudah Dok kalau gitu. Kami pamit dulu. Nanti kalau ada apa-apa, kita bisa langsung datang lagi kan ya, Dok?"

Mbak Arien kembali bersuara. Sedangkan aku cuma diam sambil berpikir. Bagaimana jika aku sampai di rumah, rasa mulas itu datang lagi dan semakin parah mulasnya?

"Iya Bu, bisa kok. Banyak jalan-jalan ya nanti di rumah. Biar semakin gampang lahirnya si Adek."

"Oke deh kalau gitu. Makasih banyak yaa Dokter Ajeng."

Begitu aku dan Mbak Arien keluar ruang periksa, kulihat Mas Askha sudah duduk di salah satu kursi yang ada di depan ruang periksa.

"Sudah lama, Kha?" tanya Mbak Arien begitu kami sampai di depan Mas Askha yang sedang asyik dengan ponselnya.

Mas Askha lalu mengalihkan pandangannya ke arah kami, "Sudah, Mbak."

Kemudian hening. Sudah begitu saja? Enggak nanya gitu bagaimana kondisiku atau anaknya ini? Mbak Arien lalu melirikku kikuk.

"Kok enggak masuk aja kalau sudah daritadi?" tanya Mbak Arien lagi.

"Ndak enak, Mbak. Lagipula sudah ada Mbak Arien di dalam."

Dan lagi-lagi cuma itu saja yang keluar dari mulutnya. Aku mendengus sedikit keras. Sengaja. Biar Mas Askha sadar gitu kalau semestinya dia enggak begitu.

"It's okay, Kha. Kata dokter juga masih aman sih. Belum mau melahirkan karena belum ada pembukaan. Na, kamu pulang sama Askha ya? Mbak Arien mau langsung pulang juga. Takut Aaron nyari Ibunya."

"Okaaay, Mbak. Makasih banget yaa Mbak. Maaf banget juga jadi ngerepotin Mbak Arien deh."

"Enggak apa-apa, Naa. Jangan lupa ya nanti banyakin jalan-jalan di rumah."

Aku langsung mengangguk.

"Makasih banyak ya, Mbak Arien. Maaf sudah merepotkan."

"Sama-sama, Askha. Jangan sering-sering ninggalin Niana saat sudah mendekati waktu melahirkan kayak gini. Karena persalinan normal tuh bisa terjadi sewaktu-waktu. Kamu harus siaga terus."

Mas Askha hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Ampun deh. Bener-bener irit banget sama suaranya deh dia ini.


---


Sudah lewat tengah malam, tapi perutku rasanya malah semakin sakit. Segala macam posisi tidur rasanya serba salah. Tapi yang kuheran, Mas Askha tetap terlelap dalam tidurnya. Padahal sedari tadi aku sibuk bergerak untuk mengubah posisi tidurku. Aku juga semakin sering buang air kecil. Tubuhku bergetar, tanganku dingin, keringat juga sudah membasahi wajahku. Ya Tuhan, sungguh ini rasanya sakit sekali. Kakiku rasanya sampai lemas. Mataku mengantuk, tapi rasa sakit ini membuatku sukses terjaga.

Aku duduk di kloset dengan menyandarkan punggungku sambil mengatur nafas. Rasanya hanya posisi inilah yang bisa sedikit membuatku nyaman dan mengurangi rasa mulasku.

"Na? Na?"

Kudengar suara Mas Askha dari luar kamar mandi.

"Hhmm.." Aku hanya mampu berdeham untuk menjawabnya. Beneran. Sesakit itu.

"Ngapain di dalam lama-lama?"

Aku langsung membuka pintu kamar mandi yang untungnya gagang pintunya masih bisa kuraih dengan posisiku ini. Mas Askha langsung masuk dan berdiri di hadapanku.

"Sakit?"

Aku mengangguk. Lalu kuamati wajahnya lamat-lamat. Terlihat panik? Sudah jelas tidak sama sekali. Ekspresinya saat ini adalah datar, sedatar-datarnya. Enggak ada ekspresi sama sekali. Mas Askha lalu berjongkok di hadapanku. Tangan kirinya hinggap di pahaku. Sedangkan tangan kanannya mengusap keringat di dahiku.

"Mau telepon Bunda? Atau Mama?"

Aku berpikir sejenak sambil meringis menahan sakit.

"Mama aja deh. Kalau Bunda, nanti dia pasti langsung panik kebangetan. Terus pasti langsung heboh dan repot banget deh mau kesini. Nanti malah bikin aku jadi ikutan panik juga."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Mas Askha langsung berdiri dan meninggalkanku. Tenang. Kali ini aku enggak sempat untuk merasa kesal dengan aksinya ini. Sungguh, mulesnya sudah enggak kira-kira nih!



home


Posting Komentar

0 Komentar