When You Come ( part 9 )

When you come




(Rekreasi Murah), "Na, laki lo tuh memang the best ya. Semenjak iklan kantor kita beredar, kita jadi terima banyak banget job event."

Alara berceloteh sambil menyantap gado-gadonya dan aku cuma berdeham menanggapi. Tapi kali ini, aku benar-benar setuju dengan Alara. Jadi, iDea baru saja kerja sama dengan Bigsmall untuk membuat iklan dan juga company profile. Karena masih ada hubungan kekerabatan antar pemilik, jadinya Mas Askha terjun langsung untuk handle dua hal itu.

Hasilnya? Aku sungguh memuji habis-habisan kinerja suamiku beserta timnya itu. Karena karya yang mereka buat, sukses membawa banyak klien untuk iDea. Aku bahkan memujinya secara langsung. Tapi respon yang kudapat saat itu hanyalah kejumawaannya. Dia cuma bilang itu adalah hal yang sudah biasa dan menyuruhku untuk tidak berlebihan. Dan yang bikin aku mau mencakar mukanya saat itu juga adalah ekspresinya pas dia ngomong gitu. Datar sedatar-datarnya.

"Terus, lo kapan cuti? Perut sudah gede gitu."

"Yailah Ra, ini baru mau tujuh bulan ya. Masa iya gue sudah mau cuti aja? Maternity leave itu cuma tiga bulan. Kalau gue cuti dari sekarang, yang ada nanti gue masih masa nifas, tapi sudah harus masuk kerja."

Alara langsung terkekeh. "Iya juga yaa. Habisnya lo juga sih, baru mau tujuh bulan aja sudah gede amat itu perut. Si Uwi aja pas hamil Sean, kayaknya enggak segede ini deh perutnya. Justru malah dianya yang mengembang. Nah ini kalau lo kebalikannya, perut makin mengembang tapi badan lo segini-gini aja. Kayak orang gizi buruk tahu enggak."

Aku refleks menjitak kepalanya. Anak gadis ini kok cangkem'e nyablak tenan.

"Astaga! Sakit ya, Na. Kejam banget sih ibu hamil ini." serunya sambil mengusap kepalanya yang baru saja aku jitak.

"Makanya itu mulut dijaga ya. Jelas-jelas gue lagi hamil gini, malah dibilang kayak orang gizi buruk."

Alara lalu meringis di tempatnya, "Terus lagi, kapan lo mengadakan acara tujuh bulanan kayak si Uwi waktu itu? Yang gue tahu juga ya, di sini wajib deh bikin acara kayak gitu, Na. Apalagi kalian sama-sama orang Jawa."

"Enggak tahu gue, Ra. Tapi memang beneran harus banget ya Ra, bikin acara kayak gitu?"

Mama dan Bunda memang sudah kompak banget membahas hal ini ke aku. Tentang acara tujuh bulanan ini. Tapi aku sama sekali belum mengiyakan. Karena keinginan mereka dengan keinginanku berbeda.

"Maksud lo apanya nih?" Alara menyeruput es jeruknya. "Ngaji-ngajinya atau adat-adat tujuh bulanannya gitu nih?" sambungnya.

"Kalau kata orang Jawa, namanya Mitoni, Ra. Ada juga sih yang bilangnya Tingkeban."

Kepala Alara lalu mengangguk-angguk, "Nah, iya itu maksud gue."

"Gue sih maunya ngaji-ngaji aja gitu, Ra. Ngundang anak yatim-piatu atau kita mengadakannya di panti asuhan sekalian gitu. Lebih berfaedah menurut gue. Selain bisa irit dana, doanya juga jadi lebih didengar sama Allah, karena yang doain anak-anak yatim-piatu. Iya enggak sih?"

Alara mengedikkan bahunya, "And then?"

"Bunda sama nyokap gue enggak setuju. As you said before, kami sama-sama orang Jawa. Jadi Bunda sama nyokap gue enggak setuju kalau cuma acara sederhana kayak gitu. Mereka maunya pakai acara adat Mitoni atau Tingkeban itu. Apalagi ini anak pertama kami."

"Ya sudah sih, ikuti aja kemauan calon nenek-nenek baru lagi itu."

Aku mendesah malas. Haruskah? Tapi kan..

"Ribetlah, Ra. Lo liat sendiri perut gue segede ini."

"Okay baik. Lalu pertanyaan gue adalah memang kalau lo bersikeras untuk nolak, memangnya mereka bakal mengikuti kemauan lo itu?"

Aku langsung menggeleng dengan penuh keyakinan. Karena sudah bisa kupastikan, mereka akan tetap mengadakan prosesi adat tujuh bulanan itu.

"Nah, itu lo paham. Jadi mau enggak mau ya lo harus mau, Na. Lagipula ya Na, kayaknya gue pernah dengar deh. Memang ada yang bilang, kalau anak pertama tuh memang wajib bikin acara tujuh bulanan itu. Kalau anak kedua dan seterusnya, baru deh katanya terserah mau pakai acara gitu lagi atau enggak."

Lagi-lagi aku menghembuskan nafas pasrah. Okay. Kalau gitu enggak ada pilihan lain. Aku benar-benar harus mengadakan dan mengikuti kemauan Bunda dan Mamaku itu.

When you come




---
Akhirnya, acara mitoniku benar-benar terlaksana. Aku dan Mas Askha harus melakukan seluruh prosesi mitoni dari awal sampai akhir. Mulai dari prosesi siraman dengan tujuh air dari sumber yang berbeda. Dilanjutkan dengan prosesi Brojolan dan Angreman. Lalu setelahnya, Mas Askha harus memecahkan atau membelah kelapa gading yang sudah diukir dengan tokoh wayang Kamajaya dan Kamaratih. Kemudian diakhiri dengan aku dan Mas Askha yang harus berjualan rujak yang kubuat sendiri ke seluruh tamu undangan yang hadir.

Seperti biasa, persiapannya ekstra kilat tapi cukup spektakuler. Yaiyalah, secara kami pakai jasa iDeadition alias iDea tradition. Salah satu jasa yang ada di iDea, yang dibuat khusus untuk menyelenggarakan acara-acara adat seperti ini. Seringnya menjadi satu dengan tim wedding sih. Cuma mereka bisa bergerak sendiri juga untuk acara-acara adat diluar tema pernikahan, seperti acara mitoni ini contohnya.

Jam empat sore, akhirnya aku bisa mengganti kebaya hamilku dengan maternity dress berwarna biru dongker. Acara mitoniku memang sudah selesai beberapa saat lalu, tapi masih banyak kerabat yang belum pulang. Jadi, aku harus kembali keluar kamar untuk sekedar menyapa mereka secara singkat sambil mengucapkan terima kasih.

Hebatnya nih, si bayik di dalam perutku ini sama sekali enggak rewel. Padahal biasanya, jika aku duduk terlalu lama saja, perutku rasanya langsung mengencang. Rasanya sampai membuat nafasku sesak. Sedangkan saat ini, yang aku sibuk bergerak sedari tadi, dia malah anteng-anteng saja di dalam sana. Hanya sesekali terasa dia menendang-nendang perutku saja.

"Haii, Ola dan Owi. Halo juga Kakak Sean."

Aku langsung menghampiri duo sahabatku. Ola itu Onty Alara dan kalau Owi ya Onty Uwi.

"Loh, suami lo mana, Wi?"

"Tuh lagi ambil puding buat Sean. Hellooo, dedek bayik di dalam sanaaa. Duuh kamu tuh gede banget siih. Kak Sean aja dulu enggak segede ini lho diperut Owiii." ucap Uwi gemas sambil mengusap perut buncitku.

"Iya nih, Wii. Kata dokter gue yaa, ini bayik termasuk besar. Terakhir cek, it’s almost three kilos. Untungnya masih termasuk aman buat kita berdua."

"No problemo asta la vista, baby. Yang penting nih, kalian berdua sehat-sehat aja. Ola can't wait to see youuu, Baby gemass!" kali ini Alara yang mengusap perutku dengan gemas.

"Hei, Niana! Selamat yaa buat kalian. Semoga sehat terus dan dilancarkan proses lahirannya nanti." Alle lalu memelukku singkat. Dia ini suaminya Uwi.

"Aamiin. Thank you yaa Om Alle untuk doanya. Makasih juga loh Le sudah sempatin datang."

"No problem, Na. Hotel masih aman kok kalau gue tinggal cuti sehari aja."

"Halah. Daritadi aja sibuk ya sama handphone mengurusi kerjaan." cibir Uwi dan membuat Alle senyum lima jari ke arahnya.

"Enggak kok, Na. Tadi ada yang urgent aja terkait urusan finance yang berhubungan sama kelangsungan dapur."

Oh iya, Alle ini Food and Beverages Manager di salah satu hotel ternama di Jakarta. Jadi maklumlah ya kalau dia agak sibuk setiap harinya. Secara hotel itukan enggak ada tutupnya.

Setelahnya, kami mengobrol santai tentang apapun. Bahasan utamanya tetap tentang kehamilanku ini. Uwi dengan semangat menggebu memberikanku petuah-petuahnya. Secara diantara kami bertiga, dialah yang sudah berpengalaman dalam urusan persalinan. Kalau si Alara sih, entahlah. Kayaknya dia masih menikmati kebebasannya. Setelah beberapa lama, kulihat Mas Askha berjalan mendekat ke arahku dan sahabat-sahabatku ini.

"Jadi, kalian belum tahu nih jenis kelaminnya si bayi ini apa?" tanya Uwi tepat ketika Mas Askha sampai di tempat kami.

"Belum. Mas Askha enggak mau tahu juga." jawabku menyindir dan langsung dihadiahi tatapan tajam dari si empunya nama yang sudah berdiri gagah di sampingku.

"Dia di dalam sana juga ndak mau nunjukin kok." sahutnya datar.

Kulihat Alara dan Uwi saling melirik. Sedangkan Alle langsung pura-pura sibuk mengurus Sean yang sedari tadi terus mengusap-usap perutku yang katanya seperti balon udara yang sangat besar itu. Yaiya kali perutku ini sampai sebesar itu, sungguh anak kecil dan imajinasinya.

AK
Aku menghembuskan nafasku pelan, "Kenapa Mas? Ada yang mau pamit pulang?" Aku langsung menanyakan tentang tujuannya menghampiriku. Sengaja membelokkan topik pembicaraan sih sebetulnya.

"Dipanggil Bunda sama Mama. Teman-temanku juga mau pamit."

"Guys, bentar ya. Gue ke sana dulu. Kalian santai-santai dulu aja di sini ya. Jangan pulang dulu pokoknya. Sean juga masih anteng ini, belum mulai rese."

Alara, Uwi, dan Alle kompak mengangguk. Sedangkan Mas Askha langsung menggandeng tanganku, tanpa perlu berbasa-basi lagi dengan mereka. Setelah beberapa langkah, aku menengok ke belakang sambil terus berjalan. Uwi dan Alara mengepalkan tangannya ke arahku. Seolah mereka sedang memberikan semangat padaku untuk menghadapi Mas Askha yang ngeselin ini. Bisa enggak sih ya, sekali aja suamiku ini jadi orang yang ramah, gitu?




home


Posting Komentar

0 Komentar