When You Come ( Part 1.2 )

When you come




(Rekreasi Murah)"Na? Sudah tidur?"

Mataku memang sudah kututup rapat. Tapi aku masih bisa mendengar suara Mas Askha di balik badanku. Posisiku saat ini memang menyamping dan membelakangi pintu kamar.

"Kenapa, Mas? Aku capek banget." Jawabku masih dengan posisi yang sama.

"Ndak sopan Niana, bicara sama suami tapi membelakangi gitu."

Oh God. Suami siapa sih ini? Aku langsung membalikkan badanku dan membuka mataku lebar. Kemudian menatapnya tajam. Berharap dia paham kalau dia sudah menggangguku yang sudah siap tidur.

"Iya maaf yaa, Mas suamiii. Iya aku capek. Berjam-jam diri nyalamin tamu-tamu yang enggak ada habisnya itu. Gila yaa. Berapa banyak sih jadinya tamu undangan kita? Sampai seribuan kali ya?"

Aku lalu mengubah posisi dari berbaring terlentang jadi menyamping kembali. Menghadap Mas Askha yang saat ini sudah duduk bersandar di kepala ranjang.

"Ndak sampai seribu sih kayaknya. Karena Bunda bilang cuma pesan katering untuk delapan ratus pax." sahutnya santai sambil memainkan ponselnya.

Woaahhh amazing. Pantesan aja kakiku rasanya sampai kebas kebangetan. Guys, buat kalian yang baru mau menikah, apalagi dengan tamu yang cukup atau sangat banyak. Please, dengarkan saranku kali ini. Stay away dari yang namanya high heels or wedges more than five cm. Kalau bisa nih, malahan pas di pelaminan kalian pake sendal jepit aja atau flip-flop yang lebih bagus diliatnya ketimbang sendal. Kalau kalian sayang sama tubuh kalian sendiri, harus ikutin saranku barusan.

Aku diam tak menjawab ucapan Mas Ashka tadi. Mataku kembali sayup-sayup dan kesadaranku perlahan memudar. Antara sadar dan enggak sadar, kulihat Mas Askha meletakkan ponselnya di nakas dan bergerak turun ke arah kakiku.

Sejurus kemudian, kurasakan tangannya mulai memijat kakiku pelan. Aku sontak tersenyum dengan mata yang sudah terpejam. Akhirnya dia peka juga. Daritadi kek gitu pijitin kakiku. Kalau daritadi kan pasti aku sudah tidur pulas saat ini.

Saat kesadaranku nyaris hilang, Mas Askha tiba-tiba membalikkan badanku. Membuatku kembali ke posisi terlentang. Tapi kini posisinya tepat di atasku. Badan besarnya membuatku merasa sangat kecil di bawah kungkungannya.

Dia mendekatkan bibirnya ke dahiku. Merapalkan doa yang membuat bulu kudukku meremang dan jantungku berdegup cepat karena aku tahu doa ini. Setelahnya, dia mencium ubun-ubunku dan ditahannya untuk beberapa saat.

"Aku mau langsung menunaikan kewajibanku sebagai suamimu saat ini juga."

Kedua mata hitamnya mengunci tatapanku. Jarak wajah kami sangat dekat. Aku bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat. Membuat jantungku semakin berdegup cepat dan bulu kudukku semakin meremang.

"Itu tandanya, kamu juga harus menunaikan kewajibanmu sebagai istri dengan memberikanku apa yang menjadi hakku."

Suaranya yang sudah serak menjadi semakin berat. Dengan susah payah aku menelan ludahku. Mataku lantas mengerjap pelan. Sialan. Dengan posisi dan jarak sedekat ini, otakku kesulitan mencerna kata-katanya barusan.

Sampai akhirnya, seringai tipisnya membuatku semakin tak karuan. Tuhan, jantungku.

"Selamat menikmati malam panjang dan menggairahkan, Niana." ucapnya lalu mengecup rahangku. Kemudian turun menciumi leherku dan terus bergerak turun.

Oh God! Baru begini saja, aku sudah melenguh dibuatnya..

"Na? Sudah tidur?"

Mataku memang sudah kututup rapat. Tapi aku masih bisa mendengar suara Mas Askha di balik badanku. Posisiku saat ini memang menyamping dan membelakangi pintu kamar.

"Kenapa, Mas? Aku capek banget." Jawabku masih dengan posisi yang sama.

"Ndak sopan Niana, bicara sama suami tapi membelakangi gitu."

Oh God. Suami siapa sih ini? Aku langsung membalikkan badanku dan membuka mataku lebar. Kemudian menatapnya tajam. Berharap dia paham kalau dia sudah menggangguku yang sudah siap tidur.

"Iya maaf yaa, Mas suamiii. Iya aku capek. Berjam-jam diri nyalamin tamu-tamu yang enggak ada habisnya itu. Gila yaa. Berapa banyak sih jadinya tamu undangan kita? Sampai seribuan kali ya?"

Aku lalu mengubah posisi dari berbaring terlentang jadi menyamping kembali. Menghadap Mas Askha yang saat ini sudah duduk bersandar di kepala ranjang.

"Ndak sampai seribu sih kayaknya. Karena Bunda bilang cuma pesan katering untuk delapan ratus pax." sahutnya santai sambil memainkan ponselnya.

Woaahhh amazing. Pantesan aja kakiku rasanya sampai kebas kebangetan. Guys, buat kalian yang baru mau menikah, apalagi dengan tamu yang cukup atau sangat banyak. Please, dengarkan saranku kali ini. Stay away dari yang namanya high heels or wedges more than five cm. Kalau bisa nih, malahan pas di pelaminan kalian pake sendal jepit aja atau flip-flop yang lebih bagus diliatnya ketimbang sendal. Kalau kalian sayang sama tubuh kalian sendiri, harus ikutin saranku barusan.

When you come


Aku diam tak menjawab ucapan Mas Ashka tadi. Mataku kembali sayup-sayup dan kesadaranku perlahan memudar. Antara sadar dan enggak sadar, kulihat Mas Askha meletakkan ponselnya di nakas dan bergerak turun ke arah kakiku.

Sejurus kemudian, kurasakan tangannya mulai memijat kakiku pelan. Aku sontak tersenyum dengan mata yang sudah terpejam. Akhirnya dia peka juga. Daritadi kek gitu pijitin kakiku. Kalau daritadi kan pasti aku sudah tidur pulas saat ini.

Saat kesadaranku nyaris hilang, Mas Askha tiba-tiba membalikkan badanku. Membuatku kembali ke posisi terlentang. Tapi kini posisinya tepat di atasku. Badan besarnya membuatku merasa sangat kecil di bawah kungkungannya.

Dia mendekatkan bibirnya ke dahiku. Merapalkan doa yang membuat bulu kudukku meremang dan jantungku berdegup cepat karena aku tahu doa ini. Setelahnya, dia mencium ubun-ubunku dan ditahannya untuk beberapa saat.

"Aku mau langsung menunaikan kewajibanku sebagai suamimu saat ini juga."

Kedua mata hitamnya mengunci tatapanku. Jarak wajah kami sangat dekat. Aku bahkan bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat. Membuat jantungku semakin berdegup cepat dan bulu kudukku semakin meremang.

"Itu tandanya, kamu juga harus menunaikan kewajibanmu sebagai istri dengan memberikanku apa yang menjadi hakku."

Suaranya yang sudah serak menjadi semakin berat. Dengan susah payah aku menelan ludahku. Mataku lantas mengerjap pelan. Sialan. Dengan posisi dan jarak sedekat ini, otakku kesulitan mencerna kata-katanya barusan.

Sampai akhirnya, seringai tipisnya membuatku semakin tak karuan. Tuhan, jantungku.

"Selamat menikmati malam panjang dan menggairahkan, Niana." ucapnya lalu mengecup rahangku. Kemudian turun menciumi leherku dan terus bergerak turun.

Oh God! Baru begini saja, aku sudah melenguh dibuatnya..


Bersambung..........




home


Posting Komentar

0 Komentar