Sejarah asal muasal kata Garuda

Asal muasal kata garuda




(Rekreasi Murah

Sabtu, 11 Februari 2023..

Selamat malam, para pecinta rekreasi murah. Siang tadi, saya kebetulan bertemu dengan teman saya, yang rasanya sudah lama sekali kami tidak ngobrol bareng. Syukurlah pada pertemuan kali ini, saya berkesempatan untuk duduk dan ngobrol bersama teman saya ini. Kali ini, obrolan kita membahas seputar sejarah. Dan yang kita bahas adalah asal muasal nama Garuda. Nah kebetulannya lagi, teman saya mempunyai seorang kenalan di akun media sosial, yang mana dia berteman dengan seorang profesor arkeolog bernama Prof. Heri Purwanto. Dan beliau inilah yang menulis artikel asal mula nama Garuda.

Pada mulanya, ada dua wanita bernama Kadrū dan Winatā yang ingin mempunyai anak. Mereka lalu datang menemui suami mereka, yang bernama Mahārṣi Kaśyapa. Kadrū ingin punya anak seribu, sedangkan Winatā ingin punya anak dua saja, tapi lebih perkasa daripada anak-anak Kadrū.

Mahārṣi Kaśyapa lalu memberikan seribu butir telur kepada Kadrū, dan dua butir telur kepada Winatā. Setelah sekian lama berlalu, seribu butir telur milik Kadrū menetas menjadi seribu ular yang disebut para Nāga. Winatā merasa iri. Karena tidak sabar, maka ia memecah salah satu telur miliknya. Dari dalam telur itu, keluarlah seseorang yang cacat kakinya. Ia mengutuk Winatā, ibunya sendiri, yang tidak sabaran, bahwa kelak sang ibu akan menjadi budak Kadrū. Ia berpesan agar telur yang satu lagi dirawat hingga menetas alamiah, karena adiknya itulah yang kelak memerdekakan Winatā.

Putra pertama Winatā itu kemudian terbang ke langit dan diterima menjadi kusir kereta Bhaṭāra Sūrya (Dewa Matahari). Ia kemudian diberi nama Aruṇa (Sang Fajar).

Pada suatu hari, Kadrū dan Winatā berdebat tentang warna bulu kuda kahyangan bernama Uccaiśrawa. Kadrū berkata kuda itu berwarna putih belang, sedangkan Winatā berkata sang kuda berwarna putih bersih. Mereka akhirnya bertengkar dan sepakat bertaruh, barangsiapa yang keliru harus menjadi budak.

Para Nāga memberi tahu ibu mereka bahwa Uccaiśrawa memang berwarna putih bersih. Kadrū takut kalah dan memaksa anak-anaknya untuk membantu berbuat curang. Ketika Uccaiśrawa sedang lewat, seekor Nāga menyemburkan bisa kepadanya sehingga kuda itu menjadi belang. Kadrū lalu memanggil Winatā dan menunjukkan kalau ia menang.

Demikianlah kutukan Aruṇa menjadi kenyataan. Sejak saat itu, Winatā menjadi budak Kadrū. Anak keduanya pun menetas. Berbadan manusia, berkepala burung dengan sayap lebar, dan kaki berbentuk cakar. Ia diberi nama Garuḍa.

Garuḍa yang telah dewasa bertekad untuk memerdekakan ibunya dari perbudakan. Para Nāga meminta air keabadian Tīrtha Amṛta yang disimpan para dewa sebagai tebusan. Sang Garuḍa pun berjuang melewati segala rintangan, bahkan bertempur melawan para dewa demi mendapatkannya. Yang terakhir ia hadapi adalah Bhaṭāra Wiṣṇu, yang kagum pada kehebatan Garuḍa. Ia berjanji akan memberikan Tīrtha Amṛta secara baik-baik, asalkan Garuḍa bersedia menjadi kendaraannya (wāhana). Garuḍa menyanggupi. Sejak itu, ia berteman dengan para dewa dan diberi julukan Suparṇa (yang berbulu indah).

Demikianlah kisah Sang Garuḍa yang berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan. Yang kemudian dijadikan sebagai lambang negara Indonesia. Adapun yang merancang gambarnya ialah Sultan Hamid II dari Pontianak. Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta ikut memberikan usulan, antara lain menambahkan pita bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.

Pernah kita bahas di sini,
Bhinna = berbeda
Ika = itu
Tunggal = satu
Ika = itu
Bhinneka Tunggal Ika = berbeda itu, satu itu.
Maksudnya, meskipun itu kelihatan berbeda, tapi itu sebenarnya satu-kesatuan.

Asal muasal kata garuda


Pada 8 Februari 1950, rancangan lambang negara diajukan. Namun, rancangan itu mendapat penolakan dari Partai Masyumi karena wujudnya terlalu mitologis, yaitu Sang Garuḍa memegang perisai, hendaknya diganti menjadi gambar burung asli saja. Juga ada usulan lain dari R.M.Ng. Poerbatjaraka dan M.A. Pellaupessy agar memasukkan unsur 17-8-1945 yang disimbolkan menjadi jumlah bulu.
Sultan Hamid II lalu merevisi wujud Sang Garuḍa menjadi burung rajawali. Tidak lagi ada tangan yang memegang perisai, tetapi diganti menjadi berkalung perisai. Lambang negara tersebut diberi nama Rajawali Garuda Pancasila, diresmikan dalam Sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 11 Februari 1950.

Meskipun sudah diresmikan, namun Presiden Sukarno masih belum puas, karena bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila terlalu mirip lambang negara Amerika Serikat. Ia lalu memerintahkan pelukis istana bernama Dullah untuk menggambar lambang negara yang lebih khas Indonesia. Maka, ditambahkanlah jambul seperti pada hewan Elang Jawa (Nisaetus Bartelsi). Rancangan baru tersebut kemudian diserahkan kepada Sultan Hamid II pada 20 Maret 1950 untuk disempurnakan. Penyebutannya pun menjadi lebih sederhana, yaitu Garuda Pancasila (tanpa Rajawali) dan tetap dipakai setelah RIS kembali menjadi NKRI.

Demikianlah sekilas tentang sejarah Garuda Pancasila. Sebenarnya, sejak 1945 sudah diusahakan membuat lambang negara. Namun tertunda karena perang kemerdekaan. Barulah pada 11 Februari 1950, Indonesia memiliki lambang negara yang resmi. Sebenarnya, pada era Jawa Kuno sudah ada raja yang menggunakan Garuḍa sebagai lambang negara, yaitu Mahārāja Airlangga pada abad ke-11, disebut Garuḍamukha.

Kembali soal penyebutan Garudeya yang entah dari mana sumbernya, perlu saya bahas di sini. Dalam bahasa Sanskerta, dapat kita jumpai kaidah seperti ini,
Pāṇḍawa = keturunan Pāṇḍu
Kaurawa = keturunan Kuru
Yādawa = keturunan Yadu
Rāghawa = keturunan Raghu
Bhārgawa = keturunan Bhṛgu
Kaunteya = keturunan Kuntī
Gāndhareya = keturunan Gāndharī
Kauśalya = keturunan Kośala
Rādheya = keturunan Radhā
Kārttikeya = keturunan Kārttika

Nah, tokoh Garuḍa sebagai putra Winatā dalam naskah Ādiparwa kadang disebut Wainateya (ejaan IAST ditulis: Vainateya). Jadi, menyebut Garudeya jelas keliru, karena kata Gāruḍeya bermakna "keturunan Garuḍa".

Asal muasal kata garuda





home


Posting Komentar

0 Komentar